ASAS-ASAS DAN ETIKA
DALAM PELAYANAN KONSELING SEBAYA
Oleh : Wahidin, M.Pd
Sebaya artinya kemiripan/tidak berbeda jauh dalam
usia. Dalam tulisan ini diutarakan konseling sebaya
bagi para remaja mengingat
siswa SMA/sederajatnya dan Mahasiswa terdapat dalam rentangan usia 15 –
24 tahun. Kesebayaan menimbulkan keeratan,
keterbukaan dan perasaan senasib muncul. Di kalangan remaja kondisi ini
dapat menjadi peluang bagi
upaya memfasilitasi. perkembangan remaja,
di sisi lain karakteristik psikologis
remaja, misalnya bersifat emosional,
labil juga merupakan tantangan
bagi keefektifan layanan konseling sebaya bagi
mereka. Pentingnya teman sebaya
bagi remaja tampak dalam komformitas remaja terhadap
kelompok sebayanya.
Konselor sebaya
bukanlah konselor
profesional, atau ahli terapi. Mereka
adalah para remaja/pemuda (siswa/mahasiswa) yang memberikan
bantuan kepada siswa atau
mahasiswa lain di bawah bimbingan
konselor ahli. Dalam konseling sebaya,
peran dan kehadiran konselor
ahli tetap diperlukan. Dalam model konseling ini terdapat hubungan
triadik antara konselor ahli, konselor
sebaya, dan klien sebaya (Suwarjo, April 2008).
Saat seorang
remaja mendapatkan masalah, mereka
lebih banyak sharing atau
curhat kepada teman sebayanya daripada
kepada guru (termasuk konselor
sekolah) dan orang tuanya.
Hal ini disebabkan para remaja
tahu persislika-liku masalah itu
dan lebih spontan dalam mengadakan
kontak. Konselor sebaya yang
terlatih memungkinkan terjadinya
sejumlah kontak yang spontan
dan informal. Kontak-kontak yang
demikian memiliki multiplying impact
pada berbagai aspek dari remaja
lain, bahkan dapat menjadi jembatan penghubung antara konselor
profesional dengan para siswa
(remaja) yang tidak sempat
berjumpa dengan konselor.
Sesuai dengan
kemampuannya, konselor sebaya diharapkan mampu menjadi sahabat
yang baik. Ia minimal
menjadi pendengar aktif bagi
teman sebayanya yang membutuhkan perhatian. Selain itu ia
juga mampu menangkap ungkapan, pikiran
dan emosi di balik
ekspresi verbal maupun
non verbal, berempatik tulus,
dan bila memungkinkan mampu memecahkan masalah
sederhana tersebut.
Permasalahan yang
sering dihadapi para remaja adalah masalah seks dan
pacaran. Berikut ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan
konseling sebaya, yang
tentunya keterampilan konselor sebaya
yang diperlukan relatif sangat
sederhana apabila
dibandingkan dengan keterampilan
konselor profesional.
A. ASAS-ASAS KONSELING
Dalam
penyelenggaraan pelayanan peer konseling perlu menerapkan kaidah-kaidah dasar
atau yang biasa disebut sebagai asas-asas konseling. Asas-asas bimbingan dan
konseling, yaitu ketentuan-ketentuan yang harus ditetapkan dalam penyelenggaran
pelayanan itu. Apabila asas-asas itu diikuti dan terselengara dengan baik
sangat dapat diharapkan proses pelayanan mengarah pada pencapaian tujuan yang
diharapkan; sebaliknya, apabila asas-asas itu diabaikan atau dilanggar sangat
dikhawatirkan kegiatan yang terlaksana itu justru berlawanan dengan tujuan
bimbingan dan konseling, bahkan akan dapat merugikan orang-orang yang terlibat
di dalam pelayanan.
Asas-asas
yang dimaksudkan adalah asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kekinian,
kemandirian, kegiatan, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih
tangan, dan tut wuri handayani (Prayitno, 1987).
1.
Asas Kerahasiaan
Segala
sesuatu yang dibicarakan klien kepada konselor tidak boleh disampaikan kepada
orang lain, atau lebih-lebih hal atau keterangan yang tidak boleh atau tidak
layak diketahui orang lain. Asas kerahasiaan ini merupakan asas kunci dalam
usaha bimbingan dan konseling. Jika asas ini benar-benar dilaksanakan, mk
penyelengara atau pemberi bimbingan akan mendapat kepercayaan dari semua pihak,
terutama penerima bimbingan klien sehingga mereka akan mau memanfaatkan jasa
bimbingan dan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, jika konselor tidak
dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik, maka hilanglah kepercayaan klien,
sehingga akibatnya pelayanan bimbingan tidak mendapat tempat di hati klien dan
para calon klien; mereka takut untuk meminta bantuan, sebab khawatir masalah
dan diri mereka akan menjadi bahan gunjingan. Apabila hal terakhir itu terjadi,
maka tamatlah riwayat pelayanan konseling di tangan konselor yang tidak dapat
dipercaya oleh klien itu.
2.
Asas Kesukarelaan
Proses
bimbingan dan konseling harus berlangsung atas dasar kesukarelaan, baik dari
pihak si terbimbing atau klien, maupun dari pihak konselor. Klien diharapkan
secara suka dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa, menyampaikan
masalah yang dihadapinya, serta mengungkapkan segenap fakta, data dan
seluk-beluk berkenaan dengan masalahnya itu kepada konselor; dan konselor juga
hendaknya dapat memberikan bantuan dengan tidak terpaksa, atau dengan kata lain
konselor memberikan bantuan dengan ikhlas.
3.
Asas Keterbukaan
Dalam
pelaksanaan bimbingan dan konseling sangat diperlukan suasana keterbukaan, baik
keterbukaan dari konselor maupun keterbukaan dari klien. Keterbukaan ini bukan
hanya sekedar bersedia menerima saran-saran dari luar, malahan lebih adri itu,
diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan bersedia membuka diri untuk
kepentingan pemecahan masalah. Individu yang membutuhkan bimbingan diharapkan
dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya sendiri
sehingga dengan keterbukaan ini penelaahan serta pengkajian berbagai kekuatan
dan kelemahan si terbimbing dapat dilaksanakan.
Keterusterangan
dan kejujuran klien akan terjadi jika si terbimbing tidak lagi mempersoalkan
asas kerahasiaan dan kesukarelaan; maksudnya, si terbimbing telah betul-betul
mempercayai konselornya dan benar-benar mengahrapkan bantuan dari konselornya.
Lebih jauh, keterbukaan akan semakin berkembang apabila klien tahu bahwa konselornya
pun terbuka.
Keterbukaan
di sini ditinjau dari dua arah. Dari pihak klien diharapkan pertama-tama mau
membuka diri sendiri sehingga apa yang ada pada dirinya dapat diketahui oleh
orang lain (dalam hal ini konselor), dan kedua mau membuka diri dalam arti mau
menerima saran-saran dan masukan lainnya dari pihak luar. Dari pihak konselor,
keterbukaan terwujud dengan kesediaan konselor menjawab pertanyaan-pertanyaan
klien dan mengungkapkan diri konselor sendiri jika hal itu memang dikehendaki
oleh klien. Dalam hubungan yang bersuasana terbuka seperti itu, masing-masing
pihak bersifat transparan (tembus pandang) terhadap pihak lain.
4.
Asas Kekinian
Masalah
individu yang ditanggulangi ialah masalah-masalah yang sedang dirasakan
sekarang, nukan masalah yang lampau, dan juga bukan masalah yang mungkin akan
dialami di masa yang akan datang. Apabila ada hal-hal tertentu yang menyangkut
masa lampau dan/atau masa yang akan datang yang perlu dibahas dalam upaya
bimbingan yang sedang diselenggarakan itu, pembahasan tersebut
hanyalajmerupakan latar belakang dan/atau latar depan dari masalah yang
dihadapi sekarang, sehingga masalah yang sedang dialami dapat terselesaikan.
Asas
kekinian juga mengandung pengertian bahwa konselor tidak boleh menunda-nunda
pemberian bantuan. Jika dimintai bantuan oleh klien atau jelas-jelas menampak
misalnya adanya siswa yang mengalami masalah maka konselor hendaklah segera
memberikan bantuan. Konselor tidak selayaknya menunda-nunda memberi bantuan
dengan berbagai dalih.
5.
Asas Kemandirian
Pelayanan
bimbingan dan konseling bertujuan menjadikan si terbimbing dapat berdiri
sendiri, tidak tergantung pada orang lain atau tergantung pada konselor.
Individu yang dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mandiri dengan
ciri-ciri pokok : (a) mengenal diri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya;
(b) menerima diri sendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis; (c)
mengambil keputusan untuk dan oleh diri sendiri; (d) mengarahkan diri sesuai
dengan keputusan itu; (e) mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi,
minat dan kemampuan yang dimilikinya.
Kemandirian
dengan ciri-ciri umum di atas haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan
dan peranan klien dalam kehidupannya sehari-hari. Kemandirian sebagai hasil
konseling menjadi arah dari keseluruhan proses konseling, dan hal itu disadari
baik oleh konselor maupun klien.
6.
Asas Kegiatan
Usaha
bimbingan dan konseling tidak akan memberikan buah yang berarti bila klien
tidak melakukan sendiri kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan dan konseling.
Hasil usaha bimbingan dan konseling tidak akan tercapai dengan sendirinya,
melainkan harus dengan kerja giat dari klien sendiri. Konselor hendaklah
membangkitkan semangat klien sehingga ia mampu dan mau melaksanakan kegiatan
yang diperlukan dalam penyelesaian masalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam
konseling.
Asas ini
merujuk pada pola konseling “multi dimensional” yang tidak hanya mengandalkan
transaksi verbal antara klien dan konselor. Dalam konseling yang berdimensi
verbal pun asas kegiatan masih harus terselenggara, yaitu klien aktif menjalani
proses konseling dan aktif pula melaksanakan/menerapkan hasil-hasil konseling.
7.
Asas Kedinamisan
Usaha
pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjadinya perubahan pada diri
klien, yaitu perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Perubahan ini
tidak sekedar mengulang-ulang hal yang lama, yang bersifat monoton, melainkan
perubahan yang selalu menuju ke suatu
pembaruan, sesuatu yang lebih maju, dinamis sesuai dengan arah perkembangan
klien yang dikehendaki.
8.
Asas Keterpaduan
Pelayanan
bimbingan dan konseling berusaha memadukan berbagai aspek kepribadian klien.
Sebagaimana diketahui individu memiliki berbagai aspek kepribadian yang kalau
keadaannya tidak seimbang, serasi dan terpadu justru akan menimbulkan masalah.
Di samping keterpaduan pada diri klien, juga harus diperhatikan keterpaduan isi
dan proses layanan yang diberikan. Jangan hendaknya aspek layanan yang satu
tidak serasi dengan aspek layanan yang lain.
Untuk
terselengarakannya asa keterpaduan, konselor perlu memiliki wawasan yang luas
tentang perkembangan klien dan aspek-aspek lingkungan klien, serta berbagai
sumber yang dapat diaktifkan untuk menangani masalah klien. Kesemuanya itu
dipadukan dalam keadaan serasi dan saling menunjang dalam upaya bimbingan dan
konseling.
9.
Asas Kenormatifan
Usaha
bimbingan dan konseling tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adat, norma hukum/negara, norma
ilmu maupun kebiasaan sehari-hari. Asas kenormatifan ini ditetapkan terhadap
isi maupun proses penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Seluruh isi layanan
harus sesuai dengan norma-norma yang adad. Demikian pula prosedur, teknik, dan
peralatan yang dipakai tidak boleh menyimpang dari norma-norma yang dimaksud.
Ditilik
dari permasalahan klien, barangkali pada awalnya ada materi bimbingan dan
konseling yang tidak bersesuaian dengan norma (misalnya klien mengalami masalah
melanggar norma-norma tertentu), namun justru dengan pelayanan bimbingan dan
konseling tingkah laku yang melanggar norma itu diarahkan kepada yang lebih
bersesuaian dengan norma.
10. Asas Keahlian
Usaha
bimbingan dan konseling perlu dikakukan secara teratur dan sistematik dengan
menggunakan prosedur, teknik dan alat (instrumentasi bimbingan dan konseling)
yang memadai. Untuk itu para konselor perlu mendapat latihan secukupnya,
sehingga dengan itu akan dapat dicapai keberhasilan usaha pemberian layanan.
Pelayanan bimbingan dan konseling adalah pelayanan profesional yang
diselenggarakan oleh tenaga-tenaga ahli yang khusus dididik untuk pekerjaan
itu.
Asas
keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan
sarjana bidang bimbingan dan konseling), juga kepada pengalaman. Teori dan
praktek bimbingan dan konseling perlu dipadukan. Oleh karena itu, seorang
konselor ahli harus benar-benar menguasai teori dan praktek konseling secara
baik.
11. Asas Alih Tangan
Dalam
pemberian layanan bimbingan dan konseling, jika konselor sudah mengarahkan
segenap kemampuannya untuk membantu individu, namun individu yang bersangkutan
belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim
individu tersebut kepada petugas atau badan yang lebih ahli. Di samping itu
asas ini juga mengisyaratkan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling hanya
menangani masalah-masalah individu sesuai dengan kewenangan petugas yang
bersangkutan, dan setiap masalah ditangani oleh ahli yang berwenang itu. Hal
terakhir yang secara langsung mengacu kepada batasan yang telah diuraikan bab
II, yaitu bahwa bimbingan dan konseling hanya memberikan kepada
individu-individu yang pada dasarnya normal (tidak sakit jasmani dan rohani)
dan bekerja dengan kasus-kasus yang terbebas dr masalah-masalah kriminal
ataupun perdata.
12. Asas Tut Wuri Handayani
Asas ini menunjuk pada suasana umum
yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara konselor dan
klien. Lebih-lebih di lingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan keperluannya
dan bahkan perlu dilengkapi dengan “ing ngarso sung tulodo, ing madya magun
karso”.
Asas ini
menuntut agar pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan pada
waktu klien mengalami masalah dan menghadap kepada konselor saja, namun di luar
hubungan proses bantuan bimbingan dan konseling pun hendaknya dirasakan adanya
manfaat pelayanan bimbingan dan konseling itu.
B. KARAKTERISTIAK
PRIBADI KONSELOR (Pandangan Konselor Ideal menurut Gerald Corey, 2005)
- Memiliki
identitas : memahami diri sendiri, tujuan dari yang akan mereka lakukan
- Menghargai
dan menaruh hormat terhadap diri sendiri.
- Mampu
mengenal dan menerima kekuatan diri sendiri
- Terbuka
terhadapa perubahan
- Memperluas
kesadaran akan diri sendiri dan orang lain.
- Bersedia
dan mampu menerima adanya ambiguitas
- Dapat
mengalami dan mengetahui dunia orang lain, namun rasa empati yang ada
bukanlah untuk diwarnai dengan keinginan untuk memiliki
- Bergairah
hidup dan pilihannya berorentasi pada kehidupan
- Orang-orang
otentik, bersungguh-sungguh dan jujur
- Memiliki
rasa humor
- Bisa
membuat kesalahan dan mau mengakuinya
- Biasanya
hidup dimasa kini
- Menghargai
adanya pengaruh budaya
- Mampu
menggali kembali sosok pribadi mereka sendiri
- Mampu
membuat pilihan-pilihan yang bisa membentuk hidup
- Menaruh
kesejahteraan serius kepada orang lain
- Menjadi
terlibat secara penuh dalam karya mereka dan menyerap makna darinya
Beberapa hal penting
dalam konseling teman sebaya :
Ø
Hubungan Konseling Sebaya :
1.
Hubungan saling percaya
2.
Komunikasi yang terbuka
3.
Pemberdayaan
klien agar mampu mengambil
keputusannya sendiri.
Ø
Persyaratan Konselor Sebaya :
1.
Berpengalaman sebagai pendidik sebaya (tidak mutlak)
2.
Memiliki
minat, kemauan, dan perhatian
untuk membantu klien..
3.
Terbuka
untuk pendapat orang lain.
4.
Menghargai
dan menghormati klien.
5.
Peka
terhadap perasaan orang dan mampu berempati.
6.
Dapat
dipercaya dan mampu memegang rahasia.
7.
Pendidikan
minimal setingkat SLTA (lebih
diutamakan).
Ø
Keterampilan Konselor Sebaya :
1.
Membina
suasana yang aman, nyaman,
dan menimbulkan rasa percaya klien terhadap konselor.
2.
Melakukan
komunikasi interpersonal, yaitu
hubungan timbal balik
yang bercirikan :
a)
komunikasi dua arah
b)
Perhatian
pada aspek verbal dan
non verbal
c)
Penggunaan
pertanyaan untuk menggali informasi, perasaan dan pikiran
d)
Kemampuan melakukan 3 M (Mendengar yang
aktif, memahami secara positif,
e)
dan
merespon secara tepat), seperti :
§ Jaga kontak
mata dengan lawan bicara/klien (sesuaikan dengan budaya setempat) tunjukkan minat mendengar.
§ Jangan
memotong pembicaraan
klien, atau melakukan kegiatan
lain.
§ Ajukan pertanyaan
yang relevan.
§ Tunjukkan
empati.
§ Lakukan refleksi
dengan cara mengulang kata-kata klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.
§ Mendorong klien
untuk terus bicara dengan memberikan dorongan minimal, seperti ungkapan (oh ya..,
ehm..., bagus), dan anggukan
kepala, acungan jempol, dan lain-lain.
Ø
Tempat Konseling :
Sebenarnya
konseling dapat dilakukan di
mana saja, asalkan syarat-syarat berikut
terpenuhi, antara lain :
1.
Terjamin privacy
2.
Nyaman dan tenang
3.
Tidak bising
Ø
Kiat-kiat
khusus melaksanakan
konseling sebaya (pada
remaja) khususnya :
1.
Terbuka,
membiarkannya untuk bertanya seluas-luasnya termasuk hal yang tabu
2.
Fleksibel,
memberikan jawaban yang sederhana
dengan kata-kata yang mudah dimengerti.
3.
Dapat
dipercaya, jujur, dan apabila
tidak mengerti jawaban dari
pertanyaan klien, katakan bahwa lain waktu akan berusaha
menjawab karena sekarang belum mengerti.
4.
Menjaga kerahasiaan klien.
5.
Tunjukkan
sikap tenang, jangan mudah
panik dan terlalu
heran pada hal baru.
6.
Menghargai
klien dan jangan menadang rendah dirinya.
7.
Memahami,
dan tidak memberikan penilaian,
apalagi penilaian megatif tentang klien.
8.
Bersabar,
biarkan klien yang mengambil keputusannya sendiri.
Ø
Persiapan
konselor sebelum pertemuan
konseling :
1.
Menyiapkan
mental dan psikologis, artinya
konselor sedang tidak terbawa oleh emosi atau masalahnya sendiri.
2.
Mengatur
dan menata tempat konseling sesuai persyaratan.
3.
Menyiapkan
alat, atau hal-hal yang
mempermudah bantuan konseling.
Ø
Langkah-langkah /tahapan konseling :
1.
Mengucapkan salam.
2.
Mempersilakan klien duduk.
3.
Menciptakan
situasi yang membuat klien merasa
nyaman.
4.
Mengajukan
pertanyaan tentang maksud dan
tujuan kedatangannya.
5.
Berikan
informasi yang sangat dibutuhkan klien,
termasuk berbagai alternatif jalan keluar.
6.
Mendorong dan membantu klien untuk menentukan
jalan keluar atas persoalan yang
dihadapi.
7.
Sampaikan
tawaran untuk konseling berikutnya
apabila masih perlu pembicaraan selanjutnya, dan
ucapkan salam penutup dan terima
kasih.
Ø
Situasi
sulit yang perlu
dikenal oleh konselor :
1.
Bila klien pasif dan diam.
2.
Klien menangis.
3.
Klien
menanyakan hal yang bersifat pribadi kepada konselor.
4.
Klien
minta konselor untuk mengambil keputusan.
5.
Konselor
tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan klien.
6.
Konselor
tidak menemukan solusi masalah.
7.
Konselor
dan klien saling mengenal.
Ø
Implikasi
pelaksanaan konseling sebaya
1.
Konselor
sebaya bukan merupakan konselor
profesional, namun keberadaannya sangat membantu bagi terciptanya suatu
hubungan konseling yang profesional. Mereka
menjadi penghubung yang baik
antara konselor profesional dan klien.
2.
Konselor sebaya memahami batas-batas kemampuan
dalam menjalankan konseling dan bersikap
jujur atas keberadaannya apabila
tidak mampu menyelesaikan masalah klien.
3.
Konselor
sebaya senantiasa
menciptakan hubungan konseling secara
terbuka, saling percaya, dan menjaga kerahasiaan, dan
menyerahkan putusan akhir kepada klien.
Contoh Kasus :
Kiat khusus
menghadapi klen dengan kehamilan
yang tidak diinginkan
1.
Memperhatikan dan
antisipasi adanya
perasaan-perasaan khusus, seperti tertekan, konflik, bingung.
2.
Membantu klien
menata dan mengarahkan perasaan
yang dialami, kemudian mampu mengambil keputusan tanpa rasa sesal.
3.
Memiliki informasi
rujukan yang luas, misal dokter spesialis kandungan, psikolog, rohaniawan, tempat penampungan bayi
apabila adopsi.
4.
Menyiapkan diri
untuk menjadi mediator dirinya
dengan pasangan atau orang tua klien.
Daftar Rujukan :
Gerald
Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, 2005, IKIP
Press, Semarang.
Sucipto,
Artikel : Konseling Sebaya, 2009, Jurnal Mawas: Kudus,
Suwarjo
Raharjo, Artikel : Konseling Teman Sebaya (Peer Counseling) Untuk
mengembangkan Resiliensi Remaja, 2008, Makalah Seminar: Yogyakarta
Winkel
dan Sri Hartati, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, 2001,
Gramedia, Jakarta